Wednesday, August 3, 2011

SIKAP IBNU UMAR TERHADAP PENGUASA YANG BURUK

Mereka (Islam Jama'ah) bilang pemimpin negeri ini tidak mengerti agama, banyak “pelanggaran”, sehingga mereka menyangka bahwa demikian itu cukup menjadi alasan untuk mendaulat satu imam di sisi mereka, yaitu untuk golongan mereka, namun dengan konsekwensi hukum yang diterapkan kepada seluruh masyarakat islam, mengerti atau tidaknya mereka terhadap keberadaan sang imam golongan tersebut.

Dan dari arah itu pula-lah kini kita mendapati banyaknya bermunculan imam-imam yang menarik bai’at untuk didengar dan ditaati oleh kelompok atau golongannya. Namun disayangkan, hukum yang ditetapkan terkait posisi keimamahan mereka adalah untuk keseluruhan ummat manusia, sehingga kita ketahui dari mereka yang mengatakan bahwa membai’at imam mereka adalah sesuatu yang wajib dilakukan, dan mencabut ketaatan dari imam mereka adalah satu tindakan yang mengeluarkan dari kesempurnaan islam, yang menyebabkan matinya seseorang sebagaimana keadaan yang jahiliyyah.

Benarkan apa yang mereka simpulkan?? Mari menyimak kisah menarik seputar sikap Abdullah bin Umar, seorang sahabat yang menjumpai carut marutnya pemerintahan di masa yang dikenal dengan al Hurrah. Semoga kita mendapatkan banyak pelajaran darinya.

Ketika terjadi peristiwa al Hurrah, di mana penguasa saat itu adalah seorang yang ditengarai senang melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk, dialah Yazid bin Mu’awiyah, maka penduduk Madinah mengangkat Abdullah bin Muthi’ dan Abdullah bin Handzalah sebagai pemimpin mereka sebagai bentuk protes mereka terhadap buruknya pemerintah pada saat itu, dengan konsekwensi bahwa mereka kemudian mencabut ketaatan dari Yazid bin Mu’awiyyah, sang penguasa yang sah.

Bagaimana sikap Abdullah bin Umar dalam persoalan ini?? Telah diceritakan dalam Shahih Muslim bahwa:

أن عبد الله بن عمر جاء إلي عبد الله بن مطيع – حين كان أمر الحرة ما كان: زمن يزيد بن معاوية -، فقال عبد الله بن مطيع: أطرحوا لأبي عبد الرحمن وسادة، فقال: أني لم آتك لأجلس، أتيتك لأحدثك حديثاً سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقوله، سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول: (( من خلع يداً من طاعة، لقي الله يوم القيامة لا حجة له، ومن مات ليس في عنقه بيعة، مات ميتة جاهلية )).

Sesungguhnya Abdullah bin Umar mendatangi Abdullah bin Muthi’ ketika terjadi peristiwa al Hurrah, yaitu pada zamannya Yazin bin Mu’awiyah. Maka berkata Abdullah bin Muthi’ : Berikanlah bantalan (untuk duduk) kepada Abi Abdurrahman (Ibn Umar). Maka berkata Ibn Umar: Sesungguhnya aku tidak mendatangimu untuk duduk-duduk, aku mendatangimu untuk mengabarkan satu hadist yang telah aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, aku mendengar beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa yang mencabut tangannya dari ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa alasan, dan barang siapa yang mati sedangkan tidak ada di lehernya bai’at maka matinya seperti mati jahiliyyah. (baca juga: An-Nawawi 12/240)

Hadist di atas memberikan faedah bahwa ketaatan kepada pemimpin / penguasa Negara adalah hal yang disyari’atkan, meskipun diketahui penguasa tersebut bukanlah orang yang ‘alim dalam hal agama, selama tidak ada kekufuran yang nyata terhadapnya maka selama itu pula ketaatan diserahkan kepadanya.

Berikutnya, kami akan cuplikkan sikap yang lain dari Abdullah bin Umar, masih seputar fitnah al Hurrah yang terjadi di masa itu.

قال الحافظ بن كثير في (( البداية والنهاية )) ( 8/232)  ط. السعادة

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 8/232 berkata :


(( ولما خرج أهل المدينة عن طاعته – أي: يزيد -، وولوا عليهم بن مطيع، وابن حنظلة، لم يذكروا عنه – وهم أشد الناس عداوة له – إلا ما ذكروه عنه من شرب الخمر وإتيانه بعض القاذورات... بل قد كان فاسقاً، والفاسق لا يجوز خلعه، لأجل ما يثور بسبب ذلك من الفتنة ووقوع الهرج – كما وقع في زمن الحرة –

“Tatkala penduduk Madinah melepaskan ketaatan kepada Yazid, mereka menjadikan Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzholah sebagai pemimpin mereka. Mereka –yang paling keras memusuhinya- tidak mengadukan (kepada keduanya) tentang Yazid selain perbuatan-perbauatannya yang menyimpang seperti minuman-minuman keras dan tindakannya yang mendatangi sebagain perkara kufur. Memang sesungguhnya ia telah fasiq, tetapi seorang yang fasiq tetap tidak boleh diberontak/dicopot kedudukannya, karena hanya akan timbul fitnah (kekacauan) dan pemberontakan, sebagaimana telah terjadi di Al-Hurrah ini.

حدثنا إسماعيل ابن علية : حدثني صخر بن جورية، عن نافع قال : لما خلع الناس يزيد بن معاوية جمع ابن عمر بنية وأهله، ثم تشهد، ثم قال : (( أما بعد، فإننا بايعنا هذا الرجل على بيع الله ورسوله، وأني سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول : (( إن الغادر ينصب له لواء يوم القيامة، يقال : هذا غدرة فلان )).

Imam Al-Bukhary meriwayatkan dari Shokhr bin Juwairiyyah, dari Nafi', dia berkata : “Tatkala penduduk Madinah melepaskan ketaatan dari Yazid bin Mu'awiyah, Ibnu 'Umar mengumpulkan anak-anak dan keluarganya kemudian berkata: Adapun setelah itu, sesungguhnya kami telah membai’at lelaki ini (Yazid) atas bai’atnya Allah dan rasulNya, dan sungguh saya telah mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Akan ditancapkan bagi setiap pengkhianat (pemberontak) bendera pada Hari Kiamat, dan dikatakan: Inilah pengkhianatan si fulan”.


وإن من أعظم الغدر – إلا أن يكون الإشراك بالله - : أن يبايع رجل رجلاً على بيع الله ورسوله، ثم ينكث بيعته فلا يخلعن أحد منكم يزيد ولا يسرفن أحد منكم في هذا الأمر، فيكون الفيصل بيني وبينه .

Dan sesungguhnya termasuk dari pengkhianatan yang terbesar – selain menyekutukan Allah – adalah ketika seorang lelaki telah membai’at seorang lelaki (pemimpin) atas bai’atnya Allah dan rasul-Nya kemudian ia mengingkari bai’atnya. Dan jangan sekali-kali salah satu dari kalian melepaskan ketaatan dan ikut dalam perkara ini (pemberontakan), karena demikian itu akan menjadi pemisah antara saya dan dia.

قال الحافظ ابن حجر – رحمه الله تعالي – في (( الفتح ( 13/68 ))) (( وفي هذا الحديث جواب طاعة الإمام الذي انعقدت له البيعة، والمنع من الخروج عليه ولو جار في حكمه، وأنه لا ينخلع بالفسق )) ا ه

Kata Ibnu Hajar –rahimahullah-: “Dalam hadits ini terkandung kewajiban untuk taat kepada Imam yang sudah dibai’at dan melarang untuk keluar darinya (memberontak) walaupun jahat dalam menjalankan pemerintahannya, dan sesungguhnya tidaklah lepas ketaatan dengan sebab kefasiqan”. (Lihat: Fathul Bari 13/68)


Maka, dari kisah di atas, setidaknya dapat kita simpulkan:


·         Jika persoalan ketaatan kepada penguasa ini tergantung kepada baik dan buruknya penguasa, maka kita akan dapati pembenaran dari Abdullah bin Umar untuk mengangkat Abdullah bin Muthi’ ataupun Abdullah bin Hanzholah sebagai amir tandingan.

·         Jika perkara kepemimpinan / imamah ini boleh berbilang jumlahnya dalam satu wilayah kedaulatan, maka pastilah Abdullah bin Umar telah membiarkan apa yang terjadi dengan fenomena diangkatnya Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzholah sebagai pemimpin “tandingan” setelah Yazid bin Mu’awiyah. (lihat juga sikap Ibnu Hanifiyyah pada postingan kami sebelumnya)


·         Orang yang mengangkat ketaatan baru kepada seseorang setelah disepakatinya seorang pemimpin, maka dia telah melakukan satu jenis dari pengkhianatan besar, yang pada hari kemudian akan diberikan tanda berupa bendera pengkhianatan pada dirinya, wal 'iyadzu billaah.

·         dll


Dan adapun yang kami maksudkan dengan pemimpin yang ditetapkan ketaatan kepadanya dan di-cela-nya pemberontakan atasnya adalah pemimpin yang terang-terangan menguasai satu kedaulatan, hal ini sesuai dengan pernyataan dari al Imam al Barbahary:


قال الإمام الحسن بن على البربهاري – رحمه الله تعالي – في كتاب (( السنة ))- له - : (( من ولي الخلافة بإجماع الناس عليه ورضاهم به، فهو أمير المؤمنين، لا يحل لأحد أن يبيت ليلة ولا يرى أن ليس عليه إمام براً كان أو فاجراً ... هكذا قال أحمد بن حنبل ))

Berkata Imam al Barbahary: Barangsiapa yang diangkat sebagai khalifah dengan kesepakatan manusia dan keridhaannya maka dialah Amirul Mu’minin, tidak halal bagi siapapun yang bermalam walaupun satu malam (saja) sedangkan dia meyakini bahwasanya tidak ada Imam atasnya, Imam yang baik maupun yang menyimpang. Demikian pulalah apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hambal. (Baca Syarhus Sunnah hal 77)

Allahulmusta'aan..

Tuesday, August 2, 2011

DIALOG MENARIK TENTANG MENYIKAPI PENGUASA YANG MENYIMPANG

Satu dialog menarik yang kami harapkan memberi banyak faedah kepada kita sekalian seputar sikap yang telah diajarkan oleh as-salaf dalam menyikapi pemerintah atau penguasa yang menyimpang.

Seperti biasa, kami kembali mencuplik dialog berikut untuk menjawab tuduhan dan vonis dari sebagian orang yang menentukan satu loyalitas baru untuk mendengar dan taat kepada pimpinan golongannya semata sebagai imam / sulthan serta memungkiri eksistensi penguasa muslim di negeri ini dengan alasan yang cukup sepele, yaitu bahwa penguasa negeri ini, kata mereka, tidak mengerti urusan agama bahkan mereka sebut sebagai pemimpin yang menyeleweng.
 
Semoga atsar berikut ini bermanfaat bagi kita sekalian yang terus menginginkan kebenaran.

قال الحافظ ابن كثير – رحمه الله – في (( البداية والنهاية )):

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 8/233 :

ولما رمطيع: المدينة من عند يزيد، مشى عبد الله بن مطيع وأصحابه إلي محمد بن الحنفية فأرادوه على خلع يزيد، فأبي عليهم.

Tatkala penduduk Madinah kembali dari tempat Yazid, Abdullah bin Muthi’ dan teman-temannya pergi menemui Muhammad bin Al-Hanafiyah. Mereka menginginkan agar beliau memberi dukungan untuk mencopot Yazid dari kekhalifaannya, namun beliau menolaknya.

فقال ابن مطيع : أن يزيد يشرب الخمر، ويترك الصلاة ويتعدى حكم الكتاب.

Ibnu Muthi’ berkata : “Sesungguhnya Yazid minum khamar, meninggalkan sholat dan melanggar hukum-hukum Al-Kitab (Al-Qur`an)”,

فقال لهم: ما رأيت منه ما تذكرون، وقد حضرته وأقمت عنده، فرأيته مواظباً على الصلاة متحرياً للخير، يسأل عن الفقه، ملازماً للسنة.

Ibnu Hanafiyah berkata kepada mereka : “Saya tidak melihat dari Yazid apa yang kalian sebutkan dan sungguh saya mendatanginya dan tinggal bersamanya maka saya melihat dia memelihara sholatnya, berusaha mengupayakan kebaikan, bertanya tentang fiqh dan komitmen terhadap sunnah”

فقال: فإن ذلك كان منه تصنعاً لك.

Mereka berkata : “Sesungguhnya itu hanya sikap yang dibuat-buat untukmu”

فقال : وما الذي خاف مني أو رجا حتى يظهر إلي الخشوع ؟ ! أفأطلعكم على ما تذكرون من شرب الخمر ؟ فلئن كان أطلعكم على ذلك: إنكم لشركائه، وإن لم يكن أطلعكم فما يحل لكم أن تشهدوا بما لا تعلموا.

Ibnu Hanafiyah menjawab : “Apa yang membuat dia takut dariku atau mengharap sampai menampakkan kepadaku kekhusyu’annya ?, apakah dia memperlihatkan kepada kalian atas apa yang kalian sebutkan yaitu minum khamar ?. Dan apabila dia memperlihatkan kepada kalian yang demikian maka sesungguhnya kalian adalah sekutunya. Dan jika dia tidak memperlihatkan maka kenapa kalian bersaksi dengan apa yang kalian tidak ketahui ?!”

قالوا: إن عندنا لحق، وإن لم يكن رأيناه.

Mereka berkata lagi : “Sesungguhnya itu di sisi kami adalah haq (benar-benar terjadi,–pent.) walaupun kami tidak melihatnya”

فقال لهم: أبى الله ذلك على أهل الشهادة فقال: ) إِلاَّ مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ( سورة الزخرف، الآية : 86، ولست من أمركم في شيء

Ibnu Hanafiyah berkata: “Allah menolak yang demikian terhadap orang-orang yang bersaksi, Allah berfirman :”Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan haq sedangkan mereka mengetuhuinya”. (QS. Az-Zukhruf : 86) Dan saya tidak masuk dari urusan kalian sedikitpun”

قالوا: فلعلك تكره أن يتولى الأمر غيرك، فنحن نوليك أمرنا

Mereka berkata: “Barangkali engkau tidak suka jika orang lain selain dirimu menjadi penguasa, oleh karena itu kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami”

قال: ما استحل القتال على ما تريدونني عليه – تابعاً ولا متبوعاً -.

Beliau menjawab: “Saya tidak membolehkan peperangan yang didasari oleh apa yang kalian inginkan dariku tadi baik sebagai pengikut maupun yang diikuti”

قالوا: قد قاتلت مع أبيك – أي: على بن أبي طالب – رضي الله عنه - ؟

Mereka berkata: “Bukankah engkau telah berperang bersama ayahmu yaitu 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ?”

قال: جيئوني بمثل أبي أقاتل على مثل ما قاتل عليه.

Beliau menjawab: “Datangkan kepadaku orang yang seperti ayahku, aku akan berperang bersamanya untuk membela suatu perkara yang telah dibela oleh ayahku”

قالوا : فمر أبنيك أبا القاسم والقاسم بالقتال معنا.

Mereka berkata : “Perintahkanlah kedua anakmu yaitu Abul Qosim dan Al-Qosim untuk berperang bersama kami !”

قال: قو أمرتهما قاتلت.

Beliau menjawab : “Kalau aku memerintahkan keduanya tentu akupun akan berperang”.

قالوا: فقم معنا مقاماً تحض الناس فيه على القتال معنا.

Mereka berkata: “Berdirilah engkau di suatu tempat kemudian dari tempat itu anjurkanlah manusia agar berperang bersama kami !”

قال: سبحان الله ! آمر الناس بما لا أفعله ولا أرضاه إذاً ما نصحت لله في عباده !

Beliau menjawab: “Subhanallah, pantaskah aku memerintahkan manusia untuk mengamalkan sesuatu yang tidak saya amalkan dan tidak setujui? kalau begitu berarti saya tidak termasuk orang yang menasehati hamba-hamba Allah di jalan-Nya”

قال: إذاً نكرهك.

Mereka berkata: “Jika demikian, kami akan membencimu”

قال : إذا آمر الناس بتقوى الله، ولا يرضون المخلوق بسخط الخالق.

Beliau berkata: “Kalau begitu saya akan menyuruh manusia untuk bertaqwa kepada Allah, agar mereka tidak mencari keridhoan makhluk dengan melakukan sesuatu yang mendatangkan murka Allah”

Baca: Muamalatul Hukkaam hal: 16 oleh Syaikh Abdussalam bin Barjas, dan Sikap Ahlussunnah wal Jama’ah Terhadap Penguasa oleh Ust Luqman Jamal, Lc.




Monday, August 1, 2011

KATANYA: BAGAIMANA JIKA PENGUASA PERINTAH PADA KEBURUKAN (?)

Menyoroti vonis terhadap penguasa bahwa mereka tidak "paham" agama, maka perintahnya banyak yang tidak berdasarkan syari'at

Seperti biasanya, salah satu senjata dari pengikut Islam Jama'ah adalah mengatakan bahwa pemerintah bukanlah amir / sulthan yang dimaksudkan di dalam syari'at, alasannya adalah karena mereka tidak mengerti agama dan oleh karenanya mereka tidak memerintahkan pada sesuatu yang baik menurut agama. Lagi-lagi ini adalah doktrin yang menyesatkan, mereka menyangka bahwa persoalan agama dan baiknya segala urusan hanya ada pada tangan mereka saja, mereka menyangka bahwa selain Islam Jama'ah maka tidak ada pelajaran syari'at yang baik.

Padahal, jika saja mereka mau menelaah apa yang telah mereka kaji dalam kitab-kitab mereka, di sana telah ada pelajaran dari rasulullah shallallahu alaihi wasallam seputar solusi jitu ketika menghadapi perintah-perintah yang maksiat dari pemimpin negara. Di bawah ini kami bawakan cuplikan dari kitab as-Sunnah Fii Maa Yata'allaq Bi Waliyyil Amr karya Syaikh Ahmad Umar Bazmul.

إذا أمر ولي الأمر بمعصية فلا سمع له و لاطاعة في المعصية :
و بين النبي صلي الله عليه وسلم أن السمع و الطاعة تجب لولي الأمر ما لم يأمر بمعصية فإن أمر بمعصية فلا سمع و لا طاعة في تلك المعصية خاصة أما بقية أوامره فتسمع و تطاع كما أخرج البخاري في الصحيح عَنْ عَبْدِاللَّهِ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :" السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حق عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ ".

Nabi Shallallahu'alaihi wasallam menjelaskan bahwa mendengar dan taat kepada penguasa adalah wajib selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat maka tidak boleh didengar dan ditaat dalam kemaksiatan tersebut secara khusus (hanya pada perintah yang maksiat tersebut), adapun perintah yang lainnya maka tetap wajib didengar dan ditaati, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Abdullah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: “Mendengar dan taat adalah kewajiban atas setiap muslim terhadap apa yang dia senangi dan yang dia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan, maka jika diperintah untuk bermaksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.”


قال أهل العلم :"معناه : تجب طاعة ولاة الأمور فيما يشق و تكرهه النفوس و غيره مما ليس بمعصية فإن كانت معصية فلا سمع و لا طاعة . و قوله : فلا سمع و لا طاعة يعني فيما أمر به من المعصية فقط فإذا أمر بأمر محرم وجب أن لا يطيعه في ذلك الأمر فلا يمتثل لأن طاعة الله أوجب و لا يفهم من ذلك أنه إذا أمر بمعصية فلا  سمع و لا طاعة مطلقاً في كل أوامره بل يسمع و يطاع مطلقاً إلا في المعصية فلا سمع و لا طاعة " (معاملة الحكام 78 ) .

Berkata para Ulama: maknanya adalah: wajib mentaati penguasa disaat sulit dan tidak disukai oleh jiwa, dan selainnya selama dalam perkara yang bukan kemaksiatan. Jika berupa kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat. Sedangkan makna: “tidak boleh mendengar dan taat” adalah dalam perkara yang diperintahkan berbuat maksiat saja, jika diperintah untuk mengerjakan yang haram, maka wajib untuk tidak mentaatinya dalam perkara tersebut, maka jangan dia menurutinya, sebab taat kepada Allah lebih wajib. Dan jangan difahami bahwa jika diperintah berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat secara mutlak dalam setiap perintahnya, namun dia tetap mendengar dan taat secara mutlak, kecuali dalam kemaksiatan (saja) maka tidak boleh mendengar dan taat. (Mu’amalatul Hukkaam: 78)

قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :"إذا أمروا بأمر فإنه لا يخلو من ثلاثة حالات :

Berkata Syekh Ibnu Utsaimin -rahimahullah- : “Jika penguasa memerintahkan dengan suatu perintah, maka tidak terlepas dari tiga keadaan:

الحالة الأولى : أن يكون مما أمر الله به فهذا يجب علينا امتثاله لأمر الله به و أمرهم به لو قالوا : أقيموا الصلاة وجب علينا إقامتها امتثالاً لأمر الله و امتثالاً لأمرهم قال تعالى{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ }(النساء: من الآية59)

Pertama: bahwa itu termasuk yang Allah perintahkan, maka wajib bagi kita mematuhinya, karena adanya perintah Allah terhadapnya, dan perintah mereka pula. Maka jika mereka mengatakan: tegakkanlah sholat, maka wajib atas kita menegakkannya karena mematuhi perintah Allah dan mematuhi perintah mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.”(QS.An-Nisaa: 59).

 الحالة الثانية : أن يأمروا بما نهى الله عنه و في هذه الحالة نقول سمعاً و طاعة لله و معصية لكم لأنه لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق مثل أن يقول : لا تصلوا جماعة في المساجد فنقول : لا سمع و لا طاعة .

Kedua: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang Allah melarangnya, maka dalam keadaan ini kita mengatakan: kami mendengar dan taat kepada Allah dan kami menyelisihi kalian, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Kholiq, seperti kalau mereka mengatakan: janganlah kalian sholat jama’ah di masjid-masjid, maka kita menjawab: tidak boleh mendengar dan mentaatinya.

الحالة الثالثة : أن يأمروا بأمر ليس عليه أمر الله و رسوله صلي الله عليه وسلم و لا نهي الله و رسوله صلي الله عليه وسلم : فالواجب السمع و الطاعة لا نطيعهم لأنهم فلان و فلان و لكن لأن الله أمرنا بطاعته و أمرنا بذلك رسوله عليه الصلاة و السلام  قال :"اسمع و أطع و إن ضرب ظهرك و أخذ مالك" .

Keadaan Ketiga: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang tidak terdapat perintah Allah dan Rasul-Nya, dan tidak terdapat pula larangan dari Allah dan Rasul-Nya: maka kita wajib mendengar dan taat. Kita tidak mentaati mereka karena mereka adalah si-ini dan si-itu, namun karena Allah yang memerintahkan kita untuk taat kepadanya, dan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memerintahkan hal itu kepada kita. Dimana beliau bersabda: “Dengar dan taatlah, walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.” (Hadits ini dari Hudzaifah radhiallahu anhu, dishahihkan Al-Albani dalam silsilah al- ahadits as- shahihah,jil: 6, no:2739. (pent.))

و سألوه عن الولاة الذين يأخذون حقهم و يهضمون الرعية حقهم ؟ قال : عليهم ما حملوا و عليكم ما حملتم ". حملنا السمع و الطاعة اهـ (من شريط طاعة ولاة الأمور)

Dan para shahabat Radhiyallahu’anhum bertanya kepada beliau shallallahu alaihi wasallam tentang para penguasa yang merampas harta mereka dan mengambil hak- hak rakyatnya? Maka beliau menjawab: “Mereka menanggung atas perbuatan mereka (atas kedhalimannya), sedangkan kalian menanggung atas apa yang kalian lakukan.”  Dan beliau telah memikulkan kepada kita tanggung jawab untuk mendengar dan taat. (Dari kaset: taat kepada penguasa. (tambahan penerjemah): adapun hadits yang disebutkan diriwayatkan At-Thabrani dari Zaid bin Salamah Al-Ju’fi.dishahihkan Al- Albani dalam shahih al-jami’: 4088.)


Maka jelaslah sudah, bahwa tidak ada lagi alasan untuk tidak mentaati penguasa dalam perkara yang ma'ruf. Adapun perkataan mereka pembela imam golongan tentang keadaan penguasa yang - boleh jadi - memerintahkan pada perkara-perkara yang bathil dan buruk, maka kita katakan; Kami telah menetapkan mereka (penguasa) sebagai amir, dan mendengarkan serta mentaati mereka dalam perkara yang baik, dan tidak mentaati mereka dalam perkara yang buruk"

Allahulmusta'aan...