Mereka (Islam Jama'ah) bilang pemimpin negeri ini tidak mengerti agama, banyak “pelanggaran”, sehingga mereka menyangka bahwa demikian itu cukup menjadi alasan untuk mendaulat satu imam di sisi mereka, yaitu untuk golongan mereka, namun dengan konsekwensi hukum yang diterapkan kepada seluruh masyarakat islam, mengerti atau tidaknya mereka terhadap keberadaan sang imam golongan tersebut.
Dan dari arah itu pula-lah kini kita mendapati banyaknya bermunculan imam-imam yang menarik bai’at untuk didengar dan ditaati oleh kelompok atau golongannya. Namun disayangkan, hukum yang ditetapkan terkait posisi keimamahan mereka adalah untuk keseluruhan ummat manusia, sehingga kita ketahui dari mereka yang mengatakan bahwa membai’at imam mereka adalah sesuatu yang wajib dilakukan, dan mencabut ketaatan dari imam mereka adalah satu tindakan yang mengeluarkan dari kesempurnaan islam, yang menyebabkan matinya seseorang sebagaimana keadaan yang jahiliyyah.
Benarkan apa yang mereka simpulkan?? Mari menyimak kisah menarik seputar sikap Abdullah bin Umar, seorang sahabat yang menjumpai carut marutnya pemerintahan di masa yang dikenal dengan al Hurrah. Semoga kita mendapatkan banyak pelajaran darinya.
Ketika terjadi peristiwa al Hurrah, di mana penguasa saat itu adalah seorang yang ditengarai senang melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk, dialah Yazid bin Mu’awiyah, maka penduduk Madinah mengangkat Abdullah bin Muthi’ dan Abdullah bin Handzalah sebagai pemimpin mereka sebagai bentuk protes mereka terhadap buruknya pemerintah pada saat itu, dengan konsekwensi bahwa mereka kemudian mencabut ketaatan dari Yazid bin Mu’awiyyah, sang penguasa yang sah.
Bagaimana sikap Abdullah bin Umar dalam persoalan ini?? Telah diceritakan dalam Shahih Muslim bahwa:
أن عبد الله بن عمر جاء إلي عبد الله بن مطيع – حين كان أمر الحرة ما كان: زمن يزيد بن معاوية -، فقال عبد الله بن مطيع: أطرحوا لأبي عبد الرحمن وسادة، فقال: أني لم آتك لأجلس، أتيتك لأحدثك حديثاً سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقوله، سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول: (( من خلع يداً من طاعة، لقي الله يوم القيامة لا حجة له، ومن مات ليس في عنقه بيعة، مات ميتة جاهلية )).
Sesungguhnya Abdullah bin Umar mendatangi Abdullah bin Muthi’ ketika terjadi peristiwa al Hurrah, yaitu pada zamannya Yazin bin Mu’awiyah. Maka berkata Abdullah bin Muthi’ : Berikanlah bantalan (untuk duduk) kepada Abi Abdurrahman (Ibn Umar). Maka berkata Ibn Umar: Sesungguhnya aku tidak mendatangimu untuk duduk-duduk, aku mendatangimu untuk mengabarkan satu hadist yang telah aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, aku mendengar beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa yang mencabut tangannya dari ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa alasan, dan barang siapa yang mati sedangkan tidak ada di lehernya bai’at maka matinya seperti mati jahiliyyah. (baca juga: An-Nawawi 12/240)
Hadist di atas memberikan faedah bahwa ketaatan kepada pemimpin / penguasa Negara adalah hal yang disyari’atkan, meskipun diketahui penguasa tersebut bukanlah orang yang ‘alim dalam hal agama, selama tidak ada kekufuran yang nyata terhadapnya maka selama itu pula ketaatan diserahkan kepadanya.
Berikutnya, kami akan cuplikkan sikap yang lain dari Abdullah bin Umar, masih seputar fitnah al Hurrah yang terjadi di masa itu.
قال الحافظ بن كثير في (( البداية والنهاية )) ( 8/232) ط. السعادة
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 8/232 berkata :
(( ولما خرج أهل المدينة عن طاعته – أي: يزيد -، وولوا عليهم بن مطيع، وابن حنظلة، لم يذكروا عنه – وهم أشد الناس عداوة له – إلا ما ذكروه عنه من شرب الخمر وإتيانه بعض القاذورات... بل قد كان فاسقاً، والفاسق لا يجوز خلعه، لأجل ما يثور بسبب ذلك من الفتنة ووقوع الهرج – كما وقع في زمن الحرة –
“Tatkala penduduk Madinah melepaskan ketaatan kepada Yazid, mereka menjadikan Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzholah sebagai pemimpin mereka. Mereka –yang paling keras memusuhinya- tidak mengadukan (kepada keduanya) tentang Yazid selain perbuatan-perbauatannya yang menyimpang seperti minuman-minuman keras dan tindakannya yang mendatangi sebagain perkara kufur. Memang sesungguhnya ia telah fasiq, tetapi seorang yang fasiq tetap tidak boleh diberontak/dicopot kedudukannya, karena hanya akan timbul fitnah (kekacauan) dan pemberontakan, sebagaimana telah terjadi di Al-Hurrah ini.
حدثنا إسماعيل ابن علية : حدثني صخر بن جورية، عن نافع قال : لما خلع الناس يزيد بن معاوية جمع ابن عمر بنية وأهله، ثم تشهد، ثم قال : (( أما بعد، فإننا بايعنا هذا الرجل على بيع الله ورسوله، وأني سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول : (( إن الغادر ينصب له لواء يوم القيامة، يقال : هذا غدرة فلان )).
Imam Al-Bukhary meriwayatkan dari Shokhr bin Juwairiyyah, dari Nafi', dia berkata : “Tatkala penduduk Madinah melepaskan ketaatan dari Yazid bin Mu'awiyah, Ibnu 'Umar mengumpulkan anak-anak dan keluarganya kemudian berkata: Adapun setelah itu, sesungguhnya kami telah membai’at lelaki ini (Yazid) atas bai’atnya Allah dan rasulNya, dan sungguh saya telah mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Akan ditancapkan bagi setiap pengkhianat (pemberontak) bendera pada Hari Kiamat, dan dikatakan: Inilah pengkhianatan si fulan”.
وإن من أعظم الغدر – إلا أن يكون الإشراك بالله - : أن يبايع رجل رجلاً على بيع الله ورسوله، ثم ينكث بيعته فلا يخلعن أحد منكم يزيد ولا يسرفن أحد منكم في هذا الأمر، فيكون الفيصل بيني وبينه .
Dan sesungguhnya termasuk dari pengkhianatan yang terbesar – selain menyekutukan Allah – adalah ketika seorang lelaki telah membai’at seorang lelaki (pemimpin) atas bai’atnya Allah dan rasul-Nya kemudian ia mengingkari bai’atnya. Dan jangan sekali-kali salah satu dari kalian melepaskan ketaatan dan ikut dalam perkara ini (pemberontakan), karena demikian itu akan menjadi pemisah antara saya dan dia.
قال الحافظ ابن حجر – رحمه الله تعالي – في (( الفتح ( 13/68 ))) (( وفي هذا الحديث جواب طاعة الإمام الذي انعقدت له البيعة، والمنع من الخروج عليه ولو جار في حكمه، وأنه لا ينخلع بالفسق )) ا ه
Kata Ibnu Hajar –rahimahullah-: “Dalam hadits ini terkandung kewajiban untuk taat kepada Imam yang sudah dibai’at dan melarang untuk keluar darinya (memberontak) walaupun jahat dalam menjalankan pemerintahannya, dan sesungguhnya tidaklah lepas ketaatan dengan sebab kefasiqan”. (Lihat: Fathul Bari 13/68)
Maka, dari kisah di atas, setidaknya dapat kita simpulkan:
· Jika persoalan ketaatan kepada penguasa ini tergantung kepada baik dan buruknya penguasa, maka kita akan dapati pembenaran dari Abdullah bin Umar untuk mengangkat Abdullah bin Muthi’ ataupun Abdullah bin Hanzholah sebagai amir tandingan.
· Jika perkara kepemimpinan / imamah ini boleh berbilang jumlahnya dalam satu wilayah kedaulatan, maka pastilah Abdullah bin Umar telah membiarkan apa yang terjadi dengan fenomena diangkatnya Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzholah sebagai pemimpin “tandingan” setelah Yazid bin Mu’awiyah. (lihat juga sikap Ibnu Hanifiyyah pada postingan kami sebelumnya)
· Orang yang mengangkat ketaatan baru kepada seseorang setelah disepakatinya seorang pemimpin, maka dia telah melakukan satu jenis dari pengkhianatan besar, yang pada hari kemudian akan diberikan tanda berupa bendera pengkhianatan pada dirinya, wal 'iyadzu billaah.
· dll
Dan adapun yang kami maksudkan dengan pemimpin yang ditetapkan ketaatan kepadanya dan di-cela-nya pemberontakan atasnya adalah pemimpin yang terang-terangan menguasai satu kedaulatan, hal ini sesuai dengan pernyataan dari al Imam al Barbahary:
قال الإمام الحسن بن على البربهاري – رحمه الله تعالي – في كتاب (( السنة ))- له - : (( من ولي الخلافة بإجماع الناس عليه ورضاهم به، فهو أمير المؤمنين، لا يحل لأحد أن يبيت ليلة ولا يرى أن ليس عليه إمام براً كان أو فاجراً ... هكذا قال أحمد بن حنبل ))
Berkata Imam al Barbahary: Barangsiapa yang diangkat sebagai khalifah dengan kesepakatan manusia dan keridhaannya maka dialah Amirul Mu’minin, tidak halal bagi siapapun yang bermalam walaupun satu malam (saja) sedangkan dia meyakini bahwasanya tidak ada Imam atasnya, Imam yang baik maupun yang menyimpang. Demikian pulalah apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hambal. (Baca Syarhus Sunnah hal 77)
Allahulmusta'aan..