Sunday, April 15, 2012

ADAB BERTEMAN KETIKA MENUNTUT ILMU

Syaikh Muhammad Syakir - rahimahullah - mengatakan: "Wahai anakku, apabila ada seorang temanmu yang merasa sulit memahami sebuah masalah lantas meminta penjelasan kepada ustadz, dengarkanlah jawaban ustadzmu. Bisa jadi, dengan pengulangan penjelasan itu engkau mendapatkan sebuah pelajaran yang sebelumnya tidak engkau ketahui.

Berhati-hatilah, jangan sampai engkau mengucapkan perkataan yang menunjukkan penghinaan kepadanya, atau engkau menampakkan raut wajah yang meremehkan daya pikirnya.

Wahai anakku, pernah ditanyakan kepada al Imam Abu Hanifah - rahimahullah - 'Dengan apa engkau bisa mencapai derajad ilmu seperti ini?' Beliau menjawab 'Aku tidak bakhil untuk memberi faidah ilmu, tidak pula enggan meminta orang lain memberi faidah ilmu kepadaku'." (Washaya al-Aba' lil Abna' hal: 28-29)

Sumber: majalah asy-Syari'ah

WASIAT SYAIKH AL ALBANY – rahimahullah –

WASIAT SYAIKH AL ALBANY – rahimahullah –

وصيتي
بسم الله الرحمن الرحيم
أوصي زوجتي وأولادي وأصدقائي وكل محب لي إذا بلغه وفاتي أن يدعو لي بالمغفرة والرحمة-أولا-وألا يبكون علي نياحة أو بصوت مرفوع.

Wasiatku. Bismillahir-rahmanir-rahiim. Aku wasiatkan kepada istriku, anak-anakku, sahabat-sahabatku, dan semua yang mencintaiku, apabila sampai kepadanya berita kematianku, hendaknya mendoakan agar aku diampuni dan diberi rahmat-Nya. Ini yang pertama. Disamping itu, hendaknya mereka tidak menangisi aku dengan tangisan ratapan dan suara yang keras.

ثانيا: أن يعجلوا بدفني, ولا يخبروا من أقاربي وإخواني إلا بقدر ما يحصل بهم واجب تجهيزي, وأن يتولى غسلي ( عزت خضر أبو عبد الله ) جاري وصديقي المخلص, ومن يختاره هو لاعانته على ذلك.

Kedua, hendaknya mereka menyegerakan pemakamanku dan tidak memberitakan kematianku kepada kerabat-kerabat dan saudara-saudaraku selain sebatas untuk  melaksanakan kewajiban menyiapkan jenazahku. Selain itu, hendaknya yang memandikan aku adalah (Izzat Khidir Abu Abdillah) tetanggaku dan temanku yang tulus, serta yang dia pilih untuk membantu pelaksanaannya.

وثالثا: اختيار الدفن في أقرب مكان, لكي لا يضطر من حمل جنازتي إلى وضعها في السيارة, والبتالي يركب المشيعون سيارتهم. وأن يكون القبر في مقبرة قديمة يغلب على الظن أنها سوف لا تنبش...

Ketiga, aku memilih untuk dimakamkan ditempat terdekat agar tidak perlu bagi yang membawa jenazahku untuk meletakkannya di mobil, lalu yang mengiringinya pun menaiki mobil. Hendaknya pula pekuburan itu adalah pekuburan lama yang besar kemungkinan tidak dipugar.

وعلى من كان في البلد الذي أموت فيه ألا يخبروا من كان خارجها من أولادي-فضلا عن غيرهم- إلا بعد تشييعي, حتى لا تتغلب العواطف, وتعمل عملها, فيكون ذلك سببا لتأخر جنازتي.

Bagi orang-orang yang berada di daerah tempat aku wafat, hendaknya mereka tidak mengabarkan kepada anak-anakku yang di luar daerah, apalagi kepada yang lain, selain setelah jenazahku dipikul, agar perasaan tidak menguasai dan berbuat terhadap mereka sehingga menjadi sebab ditundanya jenazahku.

سائلا المولى أن ألقاه وقد غفر لي ذنبي ما قدمت وما أخرت...

(Aku menulis wasiat ini) dengan memohon kepada Allah untuk berjumpa dengannya dalam keadaan Dia telah mengampuni dosaku, apa yang telah lalu dan yang terjadi belakangan

وأوصي بمكتبتي-كلها- سواء ما كان منها مطبوعا, أو تصويرا أو مخطوطا -بخطي أو بخط غيري- لمكتبة الجامعة الإسلامية في المدينة المنورة, لإن لي فيها ذكريات حسنة في الدعوة للكتاب والسنة, وعلى منهج السلف الصالح- يوم كنت مدرسا فيها راجيا من الله-تعالى- أن ينفع بها روادها كما نفع بصاحبها- يومئذ- طلابها, وأن ينفعني بهم وبإخلاصهم ودعواتهم.

Kemudian aku wasiatkan agar perpustakaanku – semuanya - baik buku yang tercetak maupun fotokopian, atau manuskrip tulisanku atau tulisan orang lain, untuk disumbangkan kepada perpustakaan Universitas Islam di al-Madinah al-Munawwarah. Hal ini karena aku memiliki kenangan-kenangan indah di sana dalam berdakwah kepada al-Quran dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman manhaj as-Salafush Shaalih saat aku menjadi dosen di sana. (Hal ini) diiringi harapan agar Allah memberi manfaat dengannya kepada para pengunjungnya, sebagaimana memberikan manfaat dengan pemilik-pemilik kitab tersebut kepada mahasiswa-mahasiswanya ketika itu. Disamping itu agar Allah memberikan manfaat kepadaku karena keikhlasan mereka dalam mendoakan aku.

رب أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأصلح لي في ذريتي إني تبت إليك وإني من المسلمين.

“Wahai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridhai. Berikanlah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kebada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (QS al Ahqaf: 15)

27 جمادي الأولى 1410 هه
وكتب
الفقير إلى رحمة ربه
محمد ناصر الدين الألباني

27 Jumadil Ula 1410 H
Ditulis oleh yang sangat membutuhkan rahmat Rabbnya
Muhammad Nashiruddin al Albany

Tuesday, April 10, 2012

TUDUHAN BERHUKUM DGN SELAIN HUKUM ALLAH BERLAKU UTK SEMUA

TUDUHAN BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH ITU TIDAK SPESIFIK

مسألة الحكم بغير ما أنزل الله لا تختص بأحد دون أحد

Perihal Berhukum dengan Selain (hukum) yang Allah turunkan Tidak Berlaku Spesifik hanya pada Kalangan Tertentu


فلا تختص بالقاضي ولا الأمير ولا الحاكم الأعلى ؛ بل تشمل كل من حكم بين اثنين .

قال ابن تيمية رحمه الله : « وكل من حكم بين اثنين فهو قاضٍ ، سواء كان صاحب حرب ، أو متولي ديوان ، أو منتصباً للاحتساب بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، حتى الذي يحكم بين الصبيان في الخطوط فـإن الصحابة كانوا يعدونه من الحكام » ( الفتاوى 18/170 ) .

Persoalan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi seorang hakim, gubernur, atau penguasa tertinggi, tetapi mencakup semua orang yang menerapkan hokum antara dua orang, seperti antara guru dan murid atau antara seorang bapak dan para anak-anaknya, dan seterusnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – rahimahullah – berkata: “ Semua orang yang menerapkan hukum antara dua orang adalah hakim, tanpa dibedakan bahwa dia seorang panglima perang, kepala bagian, atau sebagai lembaga amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan, seseorang yang menerapkan hukum antara anak-anak dalam setiap pembagian (juga adalah hakim) karena para shahabat menganggap orang tersebut sebagai hakim” (Al Fatawa 18/170)


* وعليه : فالحكم في حق الأمير وغير الأمير على السواء ، ومن كفر في أي صورة من صور هذه المسألة ؛ لزمه أن يكفر كل من وقع في تلك الصورة ؛ أميراً كان أو غير أمير .

Berdasarkan hal di atas, maka hukum terhadap penguasa atau bukan penguasa adalah sama. Siapa saja yang berpendapat akan pengafiran dalam satu dari sekian gambaran dalam permasalahan ini mengharuskannya untuk mengafirkan semua orang yang terjatuh ke dalam gambaran permasalah tersebut, baik penguasa maupun bukan.

Sumber:
الحكم بغير ما انزل الله
Penulis:
Abu Abdirrahman Bundaar bin Naayif al ‘Utaiby
Terjemahan:
Berhukum dengan Selain Hukum yang Allah Turunkan

ASAL SETIAP AMALAN ADALAH PENIADAAN PENGKAFIRAN

ASAL SETIAP AMALAN ADALAH PENIADAAN PENGKAFIRAN

الأصل في الأعمال المخالفة للشرع عدم التكفير
والتكــفير طــارئ على هــذا الأصــل ناقــل عـنه

(Hukum) Asal Setiap Amalan adalah Peniadaan Pengkafiran, bahwa Pengafiran Merupakan Kondisi Darurat dan Memindahkan dari Hukum Asal ini.

وهذا يعني أن جميع الأعمال المخالفة للشرع غير مكفرة ، إلا ما دل الدليل على التكفير به . وتتفرع من هذه القاعدة مسألتان :

1.  مَن أراد نقل عمل من الأعمال المنهي عنها من أصله ( = عدم الكفر ) إلى خلاف أصله ( = الكفر ) فيلزمه الدليل ، فإن لم يأت بدليل فلا عبرة بما قال .

2.    مَن أراد عدم التكفير بعمل من الأعمال المنهي عنها ، فيكفيه الاستدلال بالأصل ، وعدم وجود الدليل الذي ينقل من ذلك الأصل .

Hal ini berarti bahwa setiap amalan tidak mendingikasikan kekafiran, kecuali amalan-amalan yang ditunjukkan oleh dalil bahwa amalan tersebut mengindikasikan kekafiran (pelakunya). Bercabang dari kaidah dasar ini dua permasalahan:

1.       Barang siapa yang ingin mengalihkan suatu amalan, dari hukum asal amalan tersebut (yakni peniadaan pengafiran) kepada hukum yang menyelisihi hukum asal (amalan) tersebut (yaitu kekafiran), dia diharuskan untuk mendatangkan dalil. Jika dia tidak dapat mendatangkan satu dalil pun, ucapannya tidak dianggap.
2.      Barang siapa yang menginginkan peniadaan pengafiran pada suatu amalan tertentu, dia cukup berargumentasi dengan hukum asal (yaitu tidak mengafirkan) dan tidak adanya sesuatu yang memalingkan (amalan tersebut) dari hukum asal.


قال ابن عبد البر رحمه الله : « ومِن جهة النظر الصحيح الذي لا مَدْفع له : أن كل مَن ثبت له عقد الإسلام في وقتٍ بإجماع من المسلمين ، ثم أذنب ذنباً أو تأول تأويلاً ، فاختلفوا بعد
في خروجه من الإسلام ؛ لم يكن لاختلافهم بعد إجماعهم معنىً يوجب حجة ، ولا يخرج من الإسلام المتفق عليه إلا باتفاق آخر ، أو سنة ثابتة لا معارض لها »
( التمهيد 16/315 ) .

Berkata al Hafidz Ibnu Abdul Barr – rahimahullah - : “Di antara perspektif logika benar yang tidak bisa ditolak adalah bahwa setiap orang yang ikatan islam telah eksis pada dirinya dalam suatu waktu berdasarkan konsensus kaum muslimin, kemudian dia melakukan suatu dosa atau menakwil dengan suatu bentuk takwil (yang keliru), lalu (setelah melakukan dosa tersebut) (kaum muslimin) berselisih bahwa dia telah keluar dari keislamannya (ataukah belum), perselisihan kaum muslimin tersebut – setelah mereka bersepakat – tidak memiliki arti yang bisa dijadikan sebagai dasar pijakan karena dia tidak keluar dari keislaman yang telah disepakati atasnya, kecuali dengan adanya kesepakatan lain atau berdasar pada sebuah sunnah yang valid tanpa adanya kontradiksi” (At-Tamhiid 16/315)


* أقول : واعتبر في هذه القاعدة بما قرره أهل العلم في نواقض الوضوء على سبيل المثال ؛ فلا يجرؤ أحد منهم على نقضِ وضوء صحيح إلا بدليل ، ولو قال أحد في شيء من نواقض الوضوء برأيه من دون دليل ؛ فإنهم لا يقبلون قوله .

Saya berkata, “Perhatikanlah bahwa kaidah ini berdasar pada penjelasan yang para ulama telah uraikan tentang beberapa pembatal wudhu – sebagai sebuah contoh – bahwa tidak seorang pun, di antara para ulama, yang dengan lancang menetapkan pembatal wudhu yang sah, kecuali dengan dasar suatu dalil. Seandainya ada seseorang yang berpendapat dengan logika akalnya pada salah satu di antara pembatal wudhu tersebut, tanpa berdasarkan pada suatu dalil, maka para ulama tidak akan menerima pendapatnya”

قال ابن المنذر رحمه الله : « إذا تطهر الرجل فهو على طهارته ، إلا أن تدل حجة على نقضِ طهارته » ( الأوسط 1/230 ) .

Berkata Ibnul Mundzir – rahimahullah – “Apabila telah berwudhu, seseorang berada dalam keadaan suci sampai ada dasar hukum yang menunjukkan pengguguran thaharahnya” (Al Ausath 1/230)


وقال رحمه الله : « وليس مع من أوجب الوضوء من ذلك حجة من حيث ذكرنا ، بل قد أجمع أهل العلم على أن من تطهر : طاهر ، وقد اختلفوا في نقض طهارته بعد حدوث الرعاف والحجامة ... فقالت طائفة : انتقضت طهارته ، وقال آخرون : لم تنقض . قال : فغير جائزٍ أن تُنقض طهارة مجْمَع عليها إلا بإجماع مثله ، أو خبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا معارِض له » ( الأوسط 1/174 ) .

Beliau juga berkata “Tidak ada dasar hukum bagi ulama yang mewajibkan wudhu dari tinjauan yang telah kami sebuatkan akan hal itu, bahkan telah terdapat konsensus ulama yang menyatakan bahwa orang yang berwudhu telah suci. Terdapat silang pendapat tentang batalnya wudhu setelah mimisan dan setelah berbekam. Sekelompok ulama mengatakan ‘thaharah/wudhu orang tersebut telah batal’ sedangkan kelompok ulama yang lain mengatakan ‘thaharah/wudhu orang tersebut tidak bawal’”. Beliau mengatakan “Oleh karena itu, (seseorang) tidak boleh membatalkan wudhu yang telah disepakati, kecuali dengan adanya kesepakatan yang semisalnya atau adanya kabar dari Nabi – shallallahu alaihi wasallam – tanpa adanya kontradiksi” (Al Ausath 1/174)


* ثم أقول : فإنْ توقف علماء الإسلام عن قبول القول بنقض عبادة الوضوء إلا إن جاء قائله بدليل ، فإن نقضَ الإسلام أولى بهذا التوقف ؛ وذلك أن إبطالَ إسلام المرء أبلغ من إبطال وضوئه . فاحفظ هذا فإنه مهم .

Kemudian saya berkata “Apabila para ulama Islam tidak menerima ucapan yang membatalkan ibadah wudhu, kecuali jika orang yang mengatakannya mendatangkan suatu dalil, pembatalan keislaman tentunya lebih utama lagi untuk disikapi dengan sikap di atas, karena pembatalan keislaman seseorang lebih berat daripada sebatas pembatalah wudhu. Camkanlah hal ini karena (hal ini) merupakan perkara yang sangat penting”


* وعليه : فإن الأصل في مسألة الحكم بغير ما أنزل الله أنها غير مكفرة ؛ فمن كفر بأي صورة من صور المسألة لزمه الدليل ، فإن لم يأت بالدليل فلا عبرة بما قال .

Dengan demikian, sesungguhnya (hukum) asal dalam masaalah berhukum dengan selain (hukum) yang Allah turunkan adalah tidak pengafirkan pelakunya. Hal ini mengikuti hukum asal terhadap semua amalan. Sehingga, barang siapa yang mengafirkan seseorang dengan salah satu dari sekian bentuk gambaran masalah ini, (dia) diharuskan untuk mendatangkan dalil. Kalau (dia) tidak (mendatangkan dalil) maka ucapannya tidak dianggap relevan.

Sumber:
الحكم بغير ما انزل الله
Penulis: Abu Abdirrahman Bundaar bin Naayif al ‘Utaiby
Versi terjemahan:
Berhukum Dengan Selain Hukum Allah

Monday, April 9, 2012

MELAKUKAN PERKARA KEKAFIRAN TDK MENGHARUSKAN KEKUFURAN PELAKUNYA

MELAKUKAN PERKARA KEKAFIRAN TIDAK MENGHARUSKAN KEKUFURAN ORANG TERSEBUT

وقوع المرء في شيء من المكفرات لا يلزم منه كفره

Terjatuhnya Seseorang ke dalam Suatu Perkara Kekafiran tidak Mengharuskan Kekufuran Orang Tersebut


وذلك أن تكفير المعيَّن مشروط بإقامة الحجة .

Hal tersebut karena, untuk mengafirkan individu tertentu, dipersyaratkan adanya Iqaamatul Hujjah yaitu penegakan dasar argumentasi terhadapnya.


قال ابن تيمية رحمه الله : « وليس لأحد أن يكفر أحداً من المسلمين وإن أخطأ وغلط ؛ حتى تقام عليه الحجة وتُبيَّن له المحجة. ومن ثبت إسلامه بيقين لم يَزُل ذلك عنه بالشك ، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة وإزالة الشبهة » ( الفتاوى 12/466 ) .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – rahimahullah – mengatakan: “Tiada seorang pun yang berhak mengkafirkan seorang muslim, meskipun (muslim tersebut) melakukan kesalahan dan kekeliruan, kecuali setelah hujjah ditegakkan dan kejelasan hukum telah diterangkan kepadanya. Barangsiapa yang keislamannya telah ditetapkan secara pasti, keislamannya tidak bisa digugurkan berdasarkan (perkara) yang meragukan. Bahkan, keislamannya tidak bisa dihilangkan, kecuali setelah hujjah ditegakkan dan kesamaran hukum (syubhat) dihilangkan” (Al Fatawa 12/466)


* أقول : وإقامة الحجة تعني التأكد من توفر شروط تكفير المعيَّن في ذلك المرء ؛ كالعلم المنافي للجهل ، والقصد المنافي للخطإ ، والاختيار المنافي للإكراه ، وعدم التأويل السائغ المنافي لوجود التأويل السائغ .

Saya berkata, “Penegakan hujjah yang dimaksud adalah memastikan terpenuhinya syarat-syarat pengafiran terhadap individu tertentu, seperti ilmu yang meniadakan faktor kejahilan, kesengajaan yang meniadakan faktor kesalahan (yang tidak disengaja), kemauan sendiri yang meniadakan faktor pemaksaan, dan tidak adanya ta’wil (interpretasi yang keliru) yang meniadakan adanya ta’wil”


* وعليه : فما قرره أهل العلم مِن الكفر الأكبر ؛ فلا يلزم منه كفر كل من وقع فيه ،إذ لا بد من إقامة الحجة قبل الحكم بالكفر

Dengan demikian: Penjelasan tentang kufur akbar yang para ulama telah tetapkan tidak serta merta mengindikasikan kekafiran semua orang yang melakukannya. (Hal ini) karena adanya keharusan untuk menegakkan hujjah kepada pelakunya.


Sumber:
الحكم بغير ما أنزل الله
Penulis: Abu Abdirrahman Bundaar bin Naayif al ‘Utaiby
Judul Berbahasa Indonesia: Berhukum Dengan Selain Hukum Allah.

KEKAFIRAN PENGUASA TDK MENGHARUSKAN BOLEHNYA MEMBERONTAK

KEKAFIRAN PENGUASA TIDAK MENGHARUSKAN BOLEHNYA MEMBERONTAK

كفر الحاكم لا يلزم منه جواز الخروج عليه

Kekafiran Penguasa Tidak Mengharuskan Pembolehan untuk Memberontak terhadap Penguasa Tersebut


وذلك أن لجواز الخروج على الحاكم خمسة شروط :
1.  وقوعه في الكفر البواح الذي عندنا من الله فيه برهان .
2.  إقامة الحجة عليه .
3.  القدرة على إزالته .
4.  القدرة على تنصيب مسلم مكانه .
5.  ألاّ يترتب على هذا الخروج مفسدة على المسلمين أعظم من مفسدة بقائه .


Hal tersebut kerena pembolehan memberontak kepada penguasa dipersyaratkan lima perkara:

1)                  Penguasa telah melakukan kekafiran yang nyata yang kita memiliki keterangan jelas akan kekufuran tersebut dari sisi Allah
2)                 Penegakkan Hujjah (iqaamatul hujjah) terhadap penguasa tersebut
3)                 Adanya kemampuan untuk melengserkannya
4)                 Adanya kemampuan untuk mengangkat seorang muslim sebagai penggantinya
5)                 Pemberontakan yang dilakukan tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar bagi kaum muslimin daripada mafsadat karena keberadaan penguasa tersebut


قال ابن تيمية رحمه الله : « فمن كان من المؤمنين بأرض هو فيها مستضعف , أو في وقت هو فيه مستضعف ؛ فليعمل بآية الصبر والصفح عمن يؤذي الله ورسوله من الذين أوتوا الكتاب والمشركين . وأما أهل القوة فإنما يعملون بآية قتال أئمة الكفر الذين يطعنون في الدين , وبآية قتال الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون » ( الصارم المسلول 2/413 ) .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – rahimahullah – berkata: “Barangsiapa, dari kalangan kaum mukminin yang berada di suatu negeri dalam keadaan lemah atau berada pada suatu waktu dalam keadaan lemah, hendaknya mengamalkan ayat yang memerintahkan untuk bersabar dan memaafkan kalangan ahli kitab dan kaum musyrikin yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan bagi kaum muslimin yang memiliki kekuatan, hendaknya dia mengamalkan ayat tentang memerangi pemimpin-pemimpin kekafiran yang melecehkan agama Allah dan ayat yang memerintahkan untuk memerangi ahlul kitab sampai (ahlul kitab itu) menyerahkan jizyah – pajak upeti – secara langsung, sementara (ahlul kitab itu) dalam keadaan hina” (as-Shaarim al Masluul 2/413)


وقال ابن باز رحمه الله : « إلا إذا رأى المسلمون كفراً بواحاً عندهم من الله فيه برهان فلا بأس أن يخرجوا على هذا السلطان لإزالته إذا كان عندهم قدرة , أما إذا لم يكن عندهم قدرة فلا يخرجوا . أو كان الخروج يسبب شراً أكثر : فليس لهم الخروج ؛ رعاية للمصالح العامة . والقاعدة الشرعية المجْمَع عليها أنه ( لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه ) ؛ بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه . أما درء الشر بشر أكثر فلا يجوز بإجماع المسلمين . فإذا كانت هذه الطائفة – التي تريد إزالة هذا السلطان الذي فعل كفراً بواحاً – عندها قدرة تزيله بها وتضع إماماً صالحاً طيباً من دون أن يترتب على هذا فساد كبير على المسلمين وشر أعظم من شر هذا السلطان : فلا بأس , أما إذا كان الخروج يترتب عليه فساد كبير واختلال الأمن وظلم الناس واغتيال من لا يستحقّ الاغتيال إلى غير هذا من الفساد العظيم فهذا لا يجوز » ( الفتاوى 8/203 ) .

Berkata Syaikh Ibnu Baaz – rahimahullah - : “ Kecuali, apabila melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki keterangan dari Allah tentang kekafiran tersebut, kaum muslimin boleh memberontak terhadap penguasa tersebut untuk melengserkan (penguasa itu) apabila memiliki kemampuan. Apabila tidak memiliki kemampuan, mereka tidak bileh memberontak. Atau, kalau pemberontakan tersebut menimbulkan kejelekan yang lebih banyak, mereka tidak boleh memberontak. Hal ini untuk menjaga kemaslahatan umum dan kaidah syara’ yang telah disepakati yaitu “tidak diperbolehkan menghilangkan suatu kejelekan dengan (cara membuat) kejelekan yang lebih jelek daripada kejelekan sebelumnya”. Melainkan, (seseorang) diwajibkan untuk menolak kejelekan dengan (melakukan) sesuatu yang dapat menghilangkan atau meringankan kejelekan tersebut. Adapun menolak kejelekan dengan memunculkan kejelekan yang lebih banyak, hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan konsensus kaum muslimin.

Sehingga, apabila kelompok tersebut – yang ingin melengserkan pengusa yang telah melakukan kekufuran yang nyata – memiliki kemampuan untuk melengserkan dan menggantikan (penguasa itu) dengan penguasa yang shalih nan baik, tanpa menimbulkan kerusakan besar bagi kaum muslimin dan kejelekan yang lebih luas daripada kejelekan penguasa tersebut, hal tersebut tidak mengapa.

Akan tetapi, apabila pemberontakan tersebut menimbulkan kerusakan besar, menghilangkan keamanan, (kaum muslimin) menjadi terzalimi, dan dibunuhnya orang-orang yang tidak berhak untuk dibunuh, serta kerusakan-kerusakan besar yang lain, maka (pemberontakan) tidak diperbolehkan” (Fatawa Syaikh Ibnu Baaz 8/203)


وقال ابن عثيمين رحمه الله عن الخروج على الحاكم الكافر : « إن كنا قادرين على إزالته فحينئذ نخرج , وإذا كنا غير قادرين فلا نخرج ؛ لأن جميع الواجبات الشرعية مشروطة بالقدرة والاستطاعة . ثم إذا خرجنا فقد يترتب على خروجنا مفسدة أكبر وأعظم مما
لو بقي هذا الرجل على ما هو عليه
. لأننا [ لو ] خرجنا ثم ظهرت العزة له ؛ صرنا أذلة أكثر وتمادى في طغيانه وكفره أكثر » ( الباب المفتوح 3/126 ، لقاء 51 ، سؤال 1222 ) .

Tentang memberontak terhadap penguasa kafir, Syaikh Ibnu Utsaimin – rahimahullah – berkata: “Apabila memiliki kemampuan untuk melengserkannya, kita dapat memberontak. Namun, apabola tidak memiliki kemampuan, kita tidak diperbolehkan memberontak. (Hal ini) karena seluruh kewajiban syariat bersyarat pada adanya kemampuan dan kesanggupan. Kemudian, apabila memberontak, lalu pemberontakan itu mengakibatkan kerusakan yang lebih banyak dan lebih besar daripada kerusakan yang terjadi apabila orang tersebut tetap menjadi penguasa, (kita tidak boleh memberontak). Karena, apabila memberontak, kemudian nampak kemuliaan baginya, kita (justru) menjadi lebih hina serta dia akan terus tenggelam dalam sikap melampaui batas dan kekafirannya menjadi lebih banyak.

Masalah-masalah seperti ini perlu pertimbangan secara mendalam. Hendaknya syariat dan logika sehat digandengkan, serta (kita) menjauhkan diri dari mengikuti perasaan dalam perkara-perkara tersebut. Kita memerlukan perasaan untuk membangkitkan semangat, (tetapi) kita memerlukan akal sehat dalam syariat agar kita tidak tergiring untuk mengikuti perasaan yang akan mengantarkan kepada kebinasaan” (Al Baab al Maftuuh 3/127, pertemuan ke 51, soal no: 1222)


* وعليه : فما قرره أهل العلم مِن الكفر الأكبر ، ووقع فيه الحاكم ؛ فإنه لا يلزم منه جواز الخروج عليه ولو أقيمت عليه الحجة ، بل لا بد من النظر في الشروط الأخرى المبيحة للخروج .


Dengan demikian, penjelasan tentang kufur akbar yang para ulama telah uraikan, dan terjatuhnya penguasa ke dalam kufur akbar, tidak implikatif terhadap pembolehan memberontak terhadap penguasa tersebut, meskipun hujjah telah ditegakkan terhadap (penguasa itu). Akan tetapi, hendaknya (kita) melihat syarat-syarat lain yang membolehkan untuk memberontak.

Sumber:
الحكم بغير ما أنزل الله
Penulis: Abu Abdirrahman Bundaar bin Naayif al ‘Utaiby