KEKAFIRAN PENGUASA TIDAK
MENGHARUSKAN BOLEHNYA MEMBERONTAK
كفر
الحاكم لا يلزم منه جواز الخروج عليه
Kekafiran Penguasa Tidak
Mengharuskan Pembolehan untuk Memberontak terhadap Penguasa Tersebut
وذلك
أن لجواز الخروج على الحاكم خمسة شروط :
1. وقوعه
في الكفر البواح الذي عندنا من الله فيه برهان .
2. إقامة
الحجة عليه .
3. القدرة
على إزالته .
4. القدرة
على تنصيب مسلم مكانه .
5. ألاّ
يترتب على هذا الخروج مفسدة على المسلمين أعظم من مفسدة بقائه .
Hal tersebut kerena
pembolehan memberontak kepada penguasa dipersyaratkan lima perkara:
1)
Penguasa telah melakukan kekafiran yang nyata
yang kita memiliki keterangan jelas akan kekufuran tersebut dari sisi Allah
2)
Penegakkan Hujjah (iqaamatul hujjah) terhadap
penguasa tersebut
3)
Adanya kemampuan untuk melengserkannya
4)
Adanya kemampuan untuk mengangkat seorang
muslim sebagai penggantinya
5)
Pemberontakan yang dilakukan tidak menimbulkan
mafsadat (kerusakan) yang lebih besar bagi kaum muslimin daripada mafsadat karena
keberadaan penguasa tersebut
قال ابن
تيمية رحمه
الله
:
« فمن كان من المؤمنين بأرض هو فيها مستضعف , أو في وقت هو فيه مستضعف ؛
فليعمل بآية الصبر والصفح عمن يؤذي الله ورسوله من الذين أوتوا الكتاب والمشركين .
وأما أهل القوة فإنما يعملون بآية قتال أئمة الكفر الذين يطعنون في الدين ,
وبآية قتال الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون » (
الصارم المسلول 2/413 ) .
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah – rahimahullah – berkata: “Barangsiapa, dari kalangan kaum mukminin
yang berada di suatu negeri dalam keadaan lemah atau berada pada suatu waktu
dalam keadaan lemah, hendaknya mengamalkan ayat yang memerintahkan untuk
bersabar dan memaafkan kalangan ahli kitab dan kaum musyrikin yang mengganggu
Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan bagi kaum muslimin yang memiliki kekuatan,
hendaknya dia mengamalkan ayat tentang memerangi pemimpin-pemimpin kekafiran
yang melecehkan agama Allah dan ayat yang memerintahkan untuk memerangi ahlul
kitab sampai (ahlul kitab itu) menyerahkan jizyah – pajak upeti – secara langsung,
sementara (ahlul kitab itu) dalam keadaan hina” (as-Shaarim al Masluul 2/413)
وقال ابن
باز رحمه
الله
: « إلا إذا رأى المسلمون كفراً بواحاً عندهم من الله فيه برهان فلا بأس أن
يخرجوا على هذا السلطان لإزالته إذا كان عندهم قدرة , أما إذا لم يكن عندهم
قدرة فلا يخرجوا . أو كان الخروج يسبب شراً أكثر : فليس لهم الخروج ؛ رعاية
للمصالح العامة . والقاعدة الشرعية المجْمَع عليها أنه ( لا يجوز إزالة الشر
بما هو أشر منه ) ؛ بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه . أما درء الشر بشر
أكثر فلا يجوز بإجماع المسلمين . فإذا كانت هذه الطائفة – التي تريد إزالة هذا
السلطان الذي فعل كفراً بواحاً – عندها قدرة تزيله بها وتضع
إماماً صالحاً طيباً من دون أن يترتب على هذا فساد كبير على المسلمين وشر
أعظم من شر هذا السلطان : فلا بأس , أما إذا كان الخروج يترتب عليه فساد
كبير واختلال الأمن وظلم الناس واغتيال من لا يستحقّ الاغتيال إلى غير هذا من
الفساد العظيم فهذا لا يجوز » ( الفتاوى 8/203 ) .
Berkata Syaikh Ibnu Baaz –
rahimahullah - : “ Kecuali, apabila melihat kekafiran yang nyata yang mereka
memiliki keterangan dari Allah tentang kekafiran tersebut, kaum muslimin boleh
memberontak terhadap penguasa tersebut untuk melengserkan (penguasa itu)
apabila memiliki kemampuan. Apabila tidak memiliki kemampuan, mereka tidak
bileh memberontak. Atau, kalau pemberontakan tersebut menimbulkan kejelekan
yang lebih banyak, mereka tidak boleh memberontak. Hal ini untuk menjaga
kemaslahatan umum dan kaidah syara’ yang telah disepakati yaitu “tidak
diperbolehkan menghilangkan suatu kejelekan dengan (cara membuat) kejelekan
yang lebih jelek daripada kejelekan sebelumnya”. Melainkan, (seseorang)
diwajibkan untuk menolak kejelekan dengan (melakukan) sesuatu yang dapat
menghilangkan atau meringankan kejelekan tersebut. Adapun menolak kejelekan
dengan memunculkan kejelekan yang lebih banyak, hal tersebut tidak
diperbolehkan berdasarkan konsensus kaum muslimin.
Sehingga, apabila kelompok
tersebut – yang ingin melengserkan pengusa yang telah melakukan kekufuran yang
nyata – memiliki kemampuan untuk melengserkan dan menggantikan (penguasa itu)
dengan penguasa yang shalih nan baik, tanpa menimbulkan kerusakan besar bagi
kaum muslimin dan kejelekan yang lebih luas daripada kejelekan penguasa
tersebut, hal tersebut tidak mengapa.
Akan tetapi, apabila
pemberontakan tersebut menimbulkan kerusakan besar, menghilangkan keamanan,
(kaum muslimin) menjadi terzalimi, dan dibunuhnya orang-orang yang tidak berhak
untuk dibunuh, serta kerusakan-kerusakan besar yang lain, maka (pemberontakan)
tidak diperbolehkan” (Fatawa Syaikh Ibnu Baaz 8/203)
وقال ابن
عثيمين رحمه
الله
عن الخروج على الحاكم الكافر : « إن كنا قادرين على إزالته فحينئذ نخرج ,
وإذا كنا غير قادرين فلا نخرج ؛ لأن جميع الواجبات الشرعية مشروطة بالقدرة
والاستطاعة . ثم إذا خرجنا فقد يترتب على خروجنا مفسدة أكبر وأعظم مما
لو بقي هذا الرجل على ما هو عليه . لأننا [
لو ]
خرجنا ثم ظهرت العزة له ؛ صرنا أذلة أكثر وتمادى في طغيانه وكفره أكثر » (
الباب المفتوح 3/126 ، لقاء 51 ، سؤال 1222 ) .
Tentang memberontak
terhadap penguasa kafir, Syaikh Ibnu Utsaimin – rahimahullah – berkata: “Apabila
memiliki kemampuan untuk melengserkannya, kita dapat memberontak. Namun,
apabola tidak memiliki kemampuan, kita tidak diperbolehkan memberontak. (Hal
ini) karena seluruh kewajiban syariat bersyarat pada adanya kemampuan dan
kesanggupan. Kemudian, apabila memberontak, lalu pemberontakan itu mengakibatkan
kerusakan yang lebih banyak dan lebih besar daripada kerusakan yang terjadi
apabila orang tersebut tetap menjadi penguasa, (kita tidak boleh memberontak).
Karena, apabila memberontak, kemudian nampak kemuliaan baginya, kita (justru) menjadi
lebih hina serta dia akan terus tenggelam dalam sikap melampaui batas dan
kekafirannya menjadi lebih banyak.
Masalah-masalah seperti
ini perlu pertimbangan secara mendalam. Hendaknya syariat dan logika sehat
digandengkan, serta (kita) menjauhkan diri dari mengikuti perasaan dalam
perkara-perkara tersebut. Kita memerlukan perasaan untuk membangkitkan
semangat, (tetapi) kita memerlukan akal sehat dalam syariat agar kita tidak
tergiring untuk mengikuti perasaan yang akan mengantarkan kepada kebinasaan”
(Al Baab al Maftuuh 3/127, pertemuan ke 51, soal no: 1222)
*
وعليه :
فما قرره أهل العلم مِن الكفر الأكبر ، ووقع فيه الحاكم ؛ فإنه لا يلزم منه جواز
الخروج عليه ولو أقيمت عليه الحجة ، بل لا بد من النظر في الشروط الأخرى المبيحة
للخروج .
Dengan demikian,
penjelasan tentang kufur akbar yang para ulama telah uraikan, dan terjatuhnya
penguasa ke dalam kufur akbar, tidak implikatif terhadap pembolehan memberontak
terhadap penguasa tersebut, meskipun hujjah telah ditegakkan terhadap (penguasa
itu). Akan tetapi, hendaknya (kita) melihat syarat-syarat lain yang membolehkan
untuk memberontak.
Sumber:
الحكم
بغير ما أنزل الله
Penulis: Abu Abdirrahman Bundaar bin Naayif al ‘Utaiby