Tuesday, April 10, 2012

ASAL SETIAP AMALAN ADALAH PENIADAAN PENGKAFIRAN

ASAL SETIAP AMALAN ADALAH PENIADAAN PENGKAFIRAN

الأصل في الأعمال المخالفة للشرع عدم التكفير
والتكــفير طــارئ على هــذا الأصــل ناقــل عـنه

(Hukum) Asal Setiap Amalan adalah Peniadaan Pengkafiran, bahwa Pengafiran Merupakan Kondisi Darurat dan Memindahkan dari Hukum Asal ini.

وهذا يعني أن جميع الأعمال المخالفة للشرع غير مكفرة ، إلا ما دل الدليل على التكفير به . وتتفرع من هذه القاعدة مسألتان :

1.  مَن أراد نقل عمل من الأعمال المنهي عنها من أصله ( = عدم الكفر ) إلى خلاف أصله ( = الكفر ) فيلزمه الدليل ، فإن لم يأت بدليل فلا عبرة بما قال .

2.    مَن أراد عدم التكفير بعمل من الأعمال المنهي عنها ، فيكفيه الاستدلال بالأصل ، وعدم وجود الدليل الذي ينقل من ذلك الأصل .

Hal ini berarti bahwa setiap amalan tidak mendingikasikan kekafiran, kecuali amalan-amalan yang ditunjukkan oleh dalil bahwa amalan tersebut mengindikasikan kekafiran (pelakunya). Bercabang dari kaidah dasar ini dua permasalahan:

1.       Barang siapa yang ingin mengalihkan suatu amalan, dari hukum asal amalan tersebut (yakni peniadaan pengafiran) kepada hukum yang menyelisihi hukum asal (amalan) tersebut (yaitu kekafiran), dia diharuskan untuk mendatangkan dalil. Jika dia tidak dapat mendatangkan satu dalil pun, ucapannya tidak dianggap.
2.      Barang siapa yang menginginkan peniadaan pengafiran pada suatu amalan tertentu, dia cukup berargumentasi dengan hukum asal (yaitu tidak mengafirkan) dan tidak adanya sesuatu yang memalingkan (amalan tersebut) dari hukum asal.


قال ابن عبد البر رحمه الله : « ومِن جهة النظر الصحيح الذي لا مَدْفع له : أن كل مَن ثبت له عقد الإسلام في وقتٍ بإجماع من المسلمين ، ثم أذنب ذنباً أو تأول تأويلاً ، فاختلفوا بعد
في خروجه من الإسلام ؛ لم يكن لاختلافهم بعد إجماعهم معنىً يوجب حجة ، ولا يخرج من الإسلام المتفق عليه إلا باتفاق آخر ، أو سنة ثابتة لا معارض لها »
( التمهيد 16/315 ) .

Berkata al Hafidz Ibnu Abdul Barr – rahimahullah - : “Di antara perspektif logika benar yang tidak bisa ditolak adalah bahwa setiap orang yang ikatan islam telah eksis pada dirinya dalam suatu waktu berdasarkan konsensus kaum muslimin, kemudian dia melakukan suatu dosa atau menakwil dengan suatu bentuk takwil (yang keliru), lalu (setelah melakukan dosa tersebut) (kaum muslimin) berselisih bahwa dia telah keluar dari keislamannya (ataukah belum), perselisihan kaum muslimin tersebut – setelah mereka bersepakat – tidak memiliki arti yang bisa dijadikan sebagai dasar pijakan karena dia tidak keluar dari keislaman yang telah disepakati atasnya, kecuali dengan adanya kesepakatan lain atau berdasar pada sebuah sunnah yang valid tanpa adanya kontradiksi” (At-Tamhiid 16/315)


* أقول : واعتبر في هذه القاعدة بما قرره أهل العلم في نواقض الوضوء على سبيل المثال ؛ فلا يجرؤ أحد منهم على نقضِ وضوء صحيح إلا بدليل ، ولو قال أحد في شيء من نواقض الوضوء برأيه من دون دليل ؛ فإنهم لا يقبلون قوله .

Saya berkata, “Perhatikanlah bahwa kaidah ini berdasar pada penjelasan yang para ulama telah uraikan tentang beberapa pembatal wudhu – sebagai sebuah contoh – bahwa tidak seorang pun, di antara para ulama, yang dengan lancang menetapkan pembatal wudhu yang sah, kecuali dengan dasar suatu dalil. Seandainya ada seseorang yang berpendapat dengan logika akalnya pada salah satu di antara pembatal wudhu tersebut, tanpa berdasarkan pada suatu dalil, maka para ulama tidak akan menerima pendapatnya”

قال ابن المنذر رحمه الله : « إذا تطهر الرجل فهو على طهارته ، إلا أن تدل حجة على نقضِ طهارته » ( الأوسط 1/230 ) .

Berkata Ibnul Mundzir – rahimahullah – “Apabila telah berwudhu, seseorang berada dalam keadaan suci sampai ada dasar hukum yang menunjukkan pengguguran thaharahnya” (Al Ausath 1/230)


وقال رحمه الله : « وليس مع من أوجب الوضوء من ذلك حجة من حيث ذكرنا ، بل قد أجمع أهل العلم على أن من تطهر : طاهر ، وقد اختلفوا في نقض طهارته بعد حدوث الرعاف والحجامة ... فقالت طائفة : انتقضت طهارته ، وقال آخرون : لم تنقض . قال : فغير جائزٍ أن تُنقض طهارة مجْمَع عليها إلا بإجماع مثله ، أو خبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا معارِض له » ( الأوسط 1/174 ) .

Beliau juga berkata “Tidak ada dasar hukum bagi ulama yang mewajibkan wudhu dari tinjauan yang telah kami sebuatkan akan hal itu, bahkan telah terdapat konsensus ulama yang menyatakan bahwa orang yang berwudhu telah suci. Terdapat silang pendapat tentang batalnya wudhu setelah mimisan dan setelah berbekam. Sekelompok ulama mengatakan ‘thaharah/wudhu orang tersebut telah batal’ sedangkan kelompok ulama yang lain mengatakan ‘thaharah/wudhu orang tersebut tidak bawal’”. Beliau mengatakan “Oleh karena itu, (seseorang) tidak boleh membatalkan wudhu yang telah disepakati, kecuali dengan adanya kesepakatan yang semisalnya atau adanya kabar dari Nabi – shallallahu alaihi wasallam – tanpa adanya kontradiksi” (Al Ausath 1/174)


* ثم أقول : فإنْ توقف علماء الإسلام عن قبول القول بنقض عبادة الوضوء إلا إن جاء قائله بدليل ، فإن نقضَ الإسلام أولى بهذا التوقف ؛ وذلك أن إبطالَ إسلام المرء أبلغ من إبطال وضوئه . فاحفظ هذا فإنه مهم .

Kemudian saya berkata “Apabila para ulama Islam tidak menerima ucapan yang membatalkan ibadah wudhu, kecuali jika orang yang mengatakannya mendatangkan suatu dalil, pembatalan keislaman tentunya lebih utama lagi untuk disikapi dengan sikap di atas, karena pembatalan keislaman seseorang lebih berat daripada sebatas pembatalah wudhu. Camkanlah hal ini karena (hal ini) merupakan perkara yang sangat penting”


* وعليه : فإن الأصل في مسألة الحكم بغير ما أنزل الله أنها غير مكفرة ؛ فمن كفر بأي صورة من صور المسألة لزمه الدليل ، فإن لم يأت بالدليل فلا عبرة بما قال .

Dengan demikian, sesungguhnya (hukum) asal dalam masaalah berhukum dengan selain (hukum) yang Allah turunkan adalah tidak pengafirkan pelakunya. Hal ini mengikuti hukum asal terhadap semua amalan. Sehingga, barang siapa yang mengafirkan seseorang dengan salah satu dari sekian bentuk gambaran masalah ini, (dia) diharuskan untuk mendatangkan dalil. Kalau (dia) tidak (mendatangkan dalil) maka ucapannya tidak dianggap relevan.

Sumber:
الحكم بغير ما انزل الله
Penulis: Abu Abdirrahman Bundaar bin Naayif al ‘Utaiby
Versi terjemahan:
Berhukum Dengan Selain Hukum Allah