Friday, July 29, 2011

HOBI BERIJTIHAD (?)

MENOLAK KESIMPULAN HUKUM PARA ULAMA, LALU MENGHENDAKI MANUSIA MENTAQLIDINYA.
___________________________________________

واماالاجتهاد : فهو بذل الوسع في بلوغ الغرض , فالمجتهد ان كان كامل الالة في الاجتهاد فان اجتهد في الفروع فاصاب فله اجران وان اجتهد فيها واخطاء فله اجر واحد
ومنهم من قال : كل مجتهد في الفروع مصيب ولا يجوز ان يقال كل مجتهد في الاصول الكلامية مصيب , لان ذلك يؤدي الي تصويب اهل اضلالة من النصاري والمجوس والكفار والملحدين

Ijtihad itu adalah upaya mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai tujuan. Maka seorang mujtahid itu jika memiliki kesempurnaan alat di dalam berijtihad dan berijtihad dalam persoalan furu' (cabang) makan mendapatkan 2 bagian pahala jika tepat ijtihadnya.

Ada juga yang berpendapat bahwa semua mujtahid dalam perkara furu' itu benar (mendapatkan bagian pahala), namun tidak dibenarkan jika ada yang menganggap bahwa mujtahid dalam ushul al kalaamiyyah (aqidah) juga benar (mendapat bagian pahala), karena anggapan itu akan mengharuskan pada membenarkan orang-orang yang sesat dari kalangan nasrani, majusi, kafir, dan mulhid.

Sedikit pelajaran dari cuplikan matan kitab al Waraqat di atas adalah bahwa setiap mujtahid adalah orang yang telah dibekali alat padanya, sebagaimana yang telah kami bahas pada kesempatan lain tentang syarat mujtahid / mufti yang antara lain harus memiliki; pengatahuan dalam persoalan fiqih baik ushul dan furu'nya, perkara-perkara madzhabiyah dan ikhtilafiyah, punya kemampuan istimbath dengan dukungan ilmu bahasa (12 cabang ilmu), dan mengatahui rijalul hadist yakni dari para periwayat hadist, punya bekal tentang tafsir ayat-ayat hukum dan hadist-hadist hukum, qiyas, dll.

Dewasa ini, kita telah melihat betapa banyak orang yang hobinya berijtihad dan menyimpulkan hukum, seakan-akan mereka telah menempatkan dirinya pada posisi mujtahid, mufti, bahkan qadhi. Lihatlah pula dari diskusi-diskusi dalam berbagai forum di internet ini, orang yang tidak diketahui memiliki perangkat keilmuan dalam ijtihad telah dengan berani menyebutkan kesimpulan-kesimpulan hukum dengan ayat-ayat Allah atau hadist-hadist nabi padahal tidak pernah ada contoh kesimpulan demikian seperti kesimpulan yang dia miliki dari para ulama sebelumnya.

Mungkin saja mereka berprasangka bahwa kesimpulan yang mereka hasilkan adalah kesimpulan yang "tidak biasa", yaitu yang sering mereka sebut dengan "tidak taqlid" kepada siapapun, atau sering juga mereka sebut dengan "langsung mengambil dari quran dan hadist".

Pada satu sisi bahwa seseorang tidak boleh taqlid adalah benar, tetapi apakah setiap orang berhak menempatkan dirinya pada posisi mujtahid sehingga mereka berhak menyimpul-nyimpulakan hukum dengan kemampuan mereka yang serba terbatas dalam semua cabang pembahasan ilmu??

Sementara berbicara mengenai ayat-ayat Allah dan hadist-hadist nabi tidak selamanya dapat dipahami secara dzohir (apa yang tampak), lalu bagaimana orang yang tidak mengerti pembahasan ilmu mampu memaknai ayat-ayat dan hadist-hadist yang padanya dibutuhkan al muawwal dalam menarik ta'wilnya, takhsis, taqyid, dllnya??

Tidak dapat dipungkiri bahwa mengambil kesimpulan hukum dari orang yang telah dikenal kapasitasnya sebagai ahli ilmu jauh lebih utama dari pada mengambil kesimpulan dari orang yang tidak mengerti ilmu. Karena taqlid yang salah itu justru dalam kondisi mengikuti kesimpulan orang yang tidak berilmu:

التقليد هو قبول القول من ليس بحجة بلا حجة

Taqlid itu mengambil ucapan orang yang tidak berhujjah dengan tanpa hujjah.

Pelajaran berikutnya yang bisa dipetik dari matan di atas adalah bahwa perkara ijtihad dalam agama hanya dibolehkan dalam perkara furu'iyah, dan bukan pada perkara ushul (landasan pokok bergama). Jika seorang manusia diperbolehkan berijtihad dalam persoalan yang asasi dari agama ini, maka yang demikian ini akan berkonsekwensi pada penerimaan terhadap segala perubahan akidah yang diperbaharui oleh para pembuat bid'ah.

Lihatlah orang-orang yang agamanya diambil hanya dari ijtihad imamnya itu. Semua sumber pengamalan termasuk dalam penentuan aqidahnya pun diambil dari ijtihad imamnya.

Tidak heran jika akidah al imamiyah al bathiniyah pun mereka pertahankan dengan dasar ijtihad. Katanya demikian inilah penentu keislaman, kehalalan hidup, dan sekaligus metode perjuangan untuk kejayaan islam yang benar.

Orang yang memiliki bekal ilmu tidak akan mengikuti orang yang tidak mempunyai kapasitas ilmu yang memadai. Dan telah berdiri di belakang orang yang tidak berilmu adalah orang yang tidak berilmu pula.

Allahulmusta'aan


No comments: