___________________________________
Dalam pembahasan imamah, masih saja kita jumpai pembela-pembela imam golongan mengatakan bahwa berbicara keimamahan maka yang paling visible adalah bentuk imamah dengan sistem keimaman golongan mereka yang dapat dijamin keberlangsungannya dari orang tua kepada anak-anaknya dan kemudian kepada cucu-cucunya, yang tidak satupun dari mereka kecuali diketahui mengenal islam, menurut mereka.
Di luar pembahasan definisi "mengenal" dan "islam" yang telah berevolusi makna yakni telah ter-redefinisi sesuai dengan kehendak kelompok atau golongan tertentu, dalam hal ini Islam Jama'ah, kami hendak menguraikan sedikit tawaran pandangan yang kami harapkan dapat menjadi jawaban bagi sebagian besar orang yang dengan senyum atau tawa sinisnya kerap bertanya "jika penguasa / presidennya kafir, lalu bagaimana?"
Menarik untuk kembali membawakan satu hadist masyhur dari Hudzaifah Ibn Yaman
قال تلزم جماعة المسلمين وامامهم. قلت فان لم تكن لهم جماعة ولا امام؟ قال فاعتزل تلك الفراق كلها ولو ان تعض اصل شجرة حتي يدركك الموت وانت علي ذلك
..... Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Berpegang-teguhlah pada Jama'ah kaum Muslimin dan pemimpin mereka. Aku (Hudzifah) bertanya: Bagaimana jika tidak ada jama'ah dan pemimpin??. Beliau bersabda: Jauhilah semua kelompok-kelompok itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu". (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Dari satu hadist yang masyhur ini saja, seharusnya pertanyaan dari para pembela hizbiyyah di atas sudah terjawab.
Mereka bertanya "Jika presidennya non-muslim?", bahkan ada yang bertanya "Kalau di Amerika, imamnya Obama, dong!"
Pertama: Mereka seakan-akan peduli tentang muslim atau tidaknya seorang pemimpin negara, padahal pada kenyataannya, apapun status seorang pemimpin dan penguasa suatu negara mereka anggap sama, yaitu kafir! karena tidak membai'at imam golongan mereka.
Jika benar mereka peduli, maka sudah sepatutnya mereka menetapkan seorang pemimpin negara yang muslim sebagai imam mereka, bukankah nabi bersabda: "...Dengarkanlah dan taatilah walaupun ia seorang budak Habasyi" atau "...kecuali jika kalian melihat kekufuran yang NYATA, yang kalian memiliki bukti / dalil di sisi Allah Subhaanahu wata’aala.” (Shahih Bukhari dan Muslim) ??
Kedua: Orang yang menyangka telah mahir berbicara persoalan imamah ini ternyata masih belum bisa membedakan bahwa amirul mu'minin adalah seseorang yang muslim, sedangkan orang yang non-muslim, yang dia contohkan dengan Obama, adalah bukan amirul mu'minin, karena statusnya bukanlah sebagai seorang yang muslim.
Ketiga: Orang yang senang membawa pembahasan imamah, yang seakan-akan dia telah memiliki imam yang shah, memahami persoalan kewajiban berjama'ah secara abdaan / fisik ini pada kadar yang melampaui batas. Yang kami maksudkan adalah derajad mewajibkan persoalan berjama'ah dalam pemaknaan secara fisik (ada imam, ada rukyah) ini mereka letakkan pada kewajiban yang mutlak sebagaimana maksud dari pewajiban perkara-perkara yang Fardhu 'Ain. Padahal, hadist di atas telah jelas memberikan penjelasan bahwa tingkat kewajiban menetapi jama'atul muslimin ini terkondisikan hanya ketika jama'atul muslimin (yang dipimpin oleh imam mereka) ini ada, jika tidak ada maka tidak diperintahkan untuk membuat / membentuknya.
Imam Al-Marwadzi dalam Ahkamus Sulthaniyyah 1/4 mengatakan:
فاذا ثبت وجوب الامام ففرضها علي الكفاية كالجهاد وطلب العلم
Artinya: Apabila telah pasti kewajiban adanya sebuah imamah, maka hukumnya menjadi Fardu Kifayah, sebagaimana hukum jihad dan menuntut ilmu.
Jika hal ini adalah perkara yang kewajibannya mutlaq sebagaimana tingkat kewajiban shalat dan puasa, misalnya, maka sudah sepatutnya ketika tidak terdapat jama'atul muslimin rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan ummatnya segera membuat jama'atul muslimin baru, dan jika demikian adanya maka kita akan menemukan perincian-perincian yang jelas dan memadai seputar cara membuat atau mendirikan jama'atul muslimin dalam tinjauan syari'at.
Keempat: Telah dimaklumi bahwa secara syar'i penunjukkan imam / sulthan terbagi menjadi 2, yakni: dengan cara pemilihan oleh ahlul halli wal 'aqd sebagaimana proses terpilihnya Abu Bakar radhiyallahu 'anhu oleh para pemuka shahabat yang terjadi di Bani Tsaqifah, dan dengan cara wasiat seperti wasiat oleh Abu Bakar as-Shiddiq kepada Umar bin Khattab. Dan selain cara syar'i tersebut juga terdapat cara yang tidak syar'i tetapi ketetapan hukumnya berlaku/sah pada siapapun yang menjadi penguasa yaitu dengan cara kudeta.
Kelima: Maka, mendirikan "jama'ah", jika status imamnya tidak memenuhi tiga keadaan di atas, maka jama'ahnya dapat dipastikan hanya mengumpulkan atau menyatukan sebagian atau bahkan sedikit saja dari kaum muslimin, dan bukanlah jama'atul muslimin seluruhnya.
No comments:
New comments are not allowed.